Hacktivist meretas untuk destinasi bersenang-senang, politis, atau dalil agama.
Para peretas pro-ISIS ternyata semuda dan sebiasa anak-anak pada umumnya, menurut keterangan dari sebuah penelitian. Mereka ialah korban propaganda terorisme mengatasnamakan Islam, dengan level keterampilan rendah dan empiris hidup yang terbatas.
Penelitian itu diselenggarakan oleh Group-IB, perusahaan asal Rusia yang meluangkan solusi antipenipuan dan antiancaman, berkolaborasi erat dengan Interpol. Tujuan mereka ialah untuk menggali tahu “hacktivist” — aktivis sosial yang menjadi peretas, yang dalam permasalahan ini menyokong organisasi Islam radikal.
“Perbedaan utama mereka dengan peretas profesional ialah motivasi,” kata Dmitry Volkov, di antara pendiri Group-IB. “Orang profesional melakukannya demi uang, sedangkan hacktivist untuk destinasi bersenang-senang, politis, atau dalil agama.”
Group-IB menuliskan bahwa semua hacktivist ini bukanlah kriminal siber profesional, tidak laksana mereka yang menyerang bank dan perusahaan. Sebagai contoh, Chakra Bernaty, di antara hacktivist yang ditemukan dalam investigasi, diperkirakan seorang mahasiswa ilmu komputer di UIN Sunan Gunung Djati di Bandung.
“Hacktivist bukan ancaman guna perusahaan yang benar-benar punya sistem ketenteraman informasi yang bagus,” kata Volkov.
Anggota Pasukan Siber Islam Bersatu (UICF) berpartisipasi dalam sekian banyak operasi di semua dunia. Berdasarkan keterangan dari Group-IB, merekalah orang-orang di balik serangan terhadap Bloc Québécois, suatu partai politik di Kanada.

Serangan tersebut adalah respons terhadap kritik yang dilontarkan politisi Kanada ke seorang perempuan Muslim yang menggunakan hijab di Majelis Rendah Parlemen Kanada (House of Commons). Konten resmi website web partai lantas diganti menjadi slogan Islam radikal.
Berdasarkan keterangan dari Volkov, beberapa besar serangan dari hacktivist ialah perusakan (substitusi atau pengeblokan halaman utama website web), atau penolakan layanan secara terdistribusi (DDoS).
“Perusakan website web yang diretas ialah ketika konten sah diganti dengan banner atau slogan,” ujar Volkov menjelaskan. “Tujuan utama serangan ini ialah untuk menggali perhatian publik sebesar-besarnya. Selama serangan DDoS, website web tidak dapat dimulai karena banyaknya trash request dari botnet (jaringan komputer individu yang terinfeksi perlengkapan lunak riskan dan dikontrol orang-orang kriminal).”

Bagaimana barangkali anak muda dengan keterampilan terbatas bisa menyerang website web kementerian-kementerian di Prancis, Israel, India, dan negara-negara lain? Kenyataannya, tidak sedikit layanan online pemerintah dan masyarakat yang tidak terlampau mementingkan ketenteraman siber.
“Anda tidak membutuhkan keterampilan hebat guna meretas mereka,” jelas Volkov. “Banyak perangkat untuk sejumlah tipe serangan DDoS yang terdapat di forum online. Bukan masalah untuk anak muda untuk menggali dan menggunakannya.”
Mereka muda dan biasa saja, dan masih bermain-main ketika ini, tapi ialah sebauh kekeliruan bila mereka diremehkan dan ancaman yang terdapat diabaikan. Hacktivist bisa mengubah teknik mereka, dari DdoS dan meretas website web yang tidak terlindungi dengan baik, menjadi menyerang infrastruktur penting. “Ini skenario terburuk,” kata Volkov.
Rusia pun telah menjadi korban kumpulan Islam radikal, laksana Anonymous Caucasus. Target utama kumpulan ini ialah bank-bank terbesar, badan pemerintah, dan media di Rusia. Pada 2013, mereka mendakwa otoritas Rusia “kejam” sebab mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2014 di tanah leluhur kepunyaan orang Sirkasia di Sochi. Mereka lantas mengadakan operasi siber mempunyai nama Pay Back for Sochi.
Ketika memungut atau mengutip segala pelajaran dari Russia Beyond, minta masukkan tautan ke tulisan asli.
Contoh Banner Hijab Yang Bagus – contoh banner hijab yang bagus